Hamba yang bertobat harus mengobarkan
semangatnya untuk mempertahankan kebersiahan hati dan kesucian diri
hingga akhir hayat serta menjauhkan diri dari semua dosa. Dia berusaha
membangun tekad membaja. Dia benci kembali berbuat dosa seperti
kebenciannya bila dimasukkan ke dalam api.
Tobat berawal dari sikap penyesalan
dan diakhiri dengan amal shalih serta dihiasi dengan berbagai ketaatan.
Tobat adalah penggerak hati agar terbebas dari seluruh kotoran
kemaksiatan dan pendorong jiwa untuk tidak kembali kepada dosa
selamanya.
Hendaknya seorang hamba bertobat hanya
karena mencari ridha Allah, bukan karena menjaga kesehatan,
mempertahankan harta benda, atau takut ancaman seseorang atau jeratan
hukum dunia, atau karena tidak ada faktor pendorong maksiat. Seorang
hamba hendaknya bertobat dan meninggalkan dosa karena tidak ingin
membuat Allah dan Rasul-Nya murka dan marah.
Ketahuilah, bahwa tobat hukumnya
wajib atas setiap bagian anggota tubuh manusia. Tobatnya mata, dengan
memalingkan pandangan dari hal-hal yang haram. Tobatnya tangan, dengan
menghindari perilaku yang diharamkan. Tobatnya telinga, dengan tidak
mendengarkan suara yang diharamkan, dan tobatnya kemaluan dengan
menjauhi perbuatan zina, dan sebagiannya.
Seharusnya seorang hamba memperbaiki
semua keteledoran dalam menjalankan kewajiban, mengembalikan semua hak
orang lain yang ada padanya secara sempurna, menyibukkan anggota
badannya dengan berbagai macam ketaatan kepada Allah, dengan menjalankan
perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya serta menjauhkan diri dari
makanan syubhat dan haram.
Tngkatan Orang Yang Bertaubat
Orang-orang yang bertobat memiliki
tingkatan berbeda-beda sesuai dengan kondisi pribadi dan amal shalih
yang mereka lakukan, serta keteguhan mereka dalam menjalani tobat hingga
akhir hayatnya, begitu pula dengan keistikomahan mereka di atas
kebaikan. Ada empat derajat orang bertobat(1):
Tingkatan pertama, mereka
yang istikomah setelah bertobat hingga ajal tiba tidak pernah tergoda
untuk kembali kepada perbuatan maksiat. Mereka para pemilik jiwa yang
tenang dan para pemilik tingkatan tobat tertinggi, karena mereka meniti shirathal mustaqim. Mereka
membiasakan ketaatan kepada Allah dengan menjalankan perintah-Nya dan
menjauhi larangan-Nya. Mereka meninggalkan semua maksiat dan perangai
yang tidak diridhai Allah. Inilah orang-orang yang bertobat yang
menempati tingkatan tertinggi.
Tingkatan kedua, mereka
yang meniti jalan istikomah dan tegak di atas jalan tobat sepanjang
usia. Hanya saja mereka tidak lepas dari maksiat yang mengikat mereka
atau maksiat hasil buaian nafsu mereka, bukan karena disengaja. Bahkan
setiap kali mereka berbuat dosa, mereka mencela dirinya dan memperbarui
tekadnya serta menyesali keburukan itu kenapa mereka lakukan. Mereka
menyesali kebaikan kenapa tidak mereka lakukan. Tingkatan ini merupakan
tingkatan tinggi, tapi berada di bawah tingkatan pertama. Inilah keadaan
mayoritas orangorang yang bertobat.
Tingkatan ketiga, mereka
yang senantiasa tegak di atas jalan tobat selama beberapa masa kemudian
tertarik kembali untuk berbuat maksiat dan dikalahkan oleh syahwat,
sehingga mereka mencampur amal shalih dengan amal keburukan. Namun
mereka diingatkan oleh diri mereka atas kebaikan yang mereka lalaikan
dan menyesali kesalahan yang mereka perbuat. Mereka ini berada pada
posisi yang sangat berbahaya, karena bisa saja mereka dijemput ajal
sebelum mereka bertobat, sehingga mereka menyesal di saat segala
penyesalan tidak berguna.
Tingkatan keempat, mereka
yang istikomah di atas jalan tobat selama beberapa masa kemudian jiwa
mereka tergoda oleh rayuan keburukan dan melenceng menuju nafsu syahwat,
sehingga mereka berbuat maksiat tanpa ada keinginan untuk bertobat.
Mereka ini dikhawatirkan akan mendapatkan su’ul khatimah, karena mereka
tunduk dan patuh kepada hawa nafsu mereka serta melalaikan tempat
kembali yang mulia, yaitu surga abadi. Orang yang berakal lagi beruntung
adalah orang yang membebaskan dirinya dari kesesatan dan
mengembalikannya menuju ketaatan. Dia kembali menuju jalan yang lurus
dan mengambil hidayah dari cahaya Al-Qur’an dan As-Sunnah.
“Wahai Rabb kami, berikanlah
jiwa kami ketakwaan. Sucikanlah ia, sesungguhnya Engkau adalah
sebaik-baik Penyuci. Engkau adalah Pelindung dan Pemeliharanya. Wahai
Rabb kami, kami telah menzalimi diri kami. Jika Engkau tidak mengampuni
kami dan mengasihi kami, niscaya kami akan termasuk orang-orang yang
merugi. Wahai Rabb kami, berilah ampunan dan rahmat. Ampunilah segala
apa yang Engkau lebih mengetahuinya. Sesungguhnya Engkau Mahamulia lagi
Maha Pemurah. Engkau Mahatahu sedang selain-Mu tidak mengetahui. Semoga
shalawat Allah curahkan atas Rasulullah beserta keluarga dan para
sahabatnya.”
Pembatal Taubat
Telah dipaparkan di muka bahwa tobat
merupakan satu hal yang senantiasa akan menyertai seorang hamba semenjak
dia memulai hidup hingga akhir hayatnya. Seseorang yang telah
menghimpun tekad dan niatnya untuk tobat nasuha wajib untuk tidak
kembali lagi melakukan dosa sebagaimana air susu tidak akan pernah
kembali lagi ke putingnya.
Jika dia kembali lagi ke dalam
maksiat dan mengulangi dosanya, maka dia telah membatalkan tobatnya.
Karena syarat sahnya sebuah tobat adalah harus berkesinambungan. Jika
seseorang bertobat dari satu dosa tertentu, kemudian melakukan dosa
lain, maka dia tidak dianggap telah membatalkan tobatnya karena
melakukan dosa tersebut.
Namun jika seseorang bertobat dari
satu maksiat kemudian melakukannya lagi, apakah dosa maksiat sebelumnya
kembali lagi padanya sehingga dia berhak mendapatkan hukuman atas
dosanya yang dulu? Jika dia mati dalam keadaan tetap melakukannya atau
hal itu telah menjadi batal secara keseluruhan, maka dosanya kembali
padanya. Apakah dia hanya akan disiksa karena maksiat yang dia lakukan
setelah tobat?
Pendapat yang benar adalah dosa dan
maksiat yang telah ia tinggalkan dan telah bertobat darinya maka tidak
kembali lagi, bahkan dosa tersebut terhapus seperti orang yang tidak
pernah berbuat maksiat sama sekali, dan seperti orang yang tidak pernah
berbuat dosa. Dosa yang dilakukan setelah tobat merupakan bentuk maksiat
baru, karena tobat yang terdahulu adalah amal kebaikan, sedangkan
mengulangi perbuatan maksiat merupakan keburukan sementara keburukan
tersebut tidak membatalkan amal kebaikan yang terdahulu, begitu juga
keburukan terakhir tidak membatalkan kebaikan yang sedang dijalankan.
Footnote ;
Lihat Mauidzatul Mukminin, Jamaluddin Al-Qasimi, hal. 419-422.
Oleh : Ustadz Zainal Abidin, Lc.
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !